Tampilkan postingan dengan label Manusia Terbaik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manusia Terbaik. Tampilkan semua postingan
Aristoteles pernah berkata bahwa "Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yg baik, bukanlah hal mudah."
Kutipan dari Aristoteles diatas menggambarkan bahwa marah tidak selalu merupakan hal yang negatif. Kita boleh saja marah selama kemarahan kita tadi memiliki tujuan yang tepat. Kita boleh saja marah bila momen marah tersebut dimunculkan di waktu yang tepat. Pertanyaannya, kapankan momen marah itu menjadi tepat?
Dalam beberapa kondisi dan situasi, akan selalu ada hal-hal yang membuat kita merasakan amarah. Biasanya emosi atau amarah ini muncul ketika kita melihat atau merasakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Semakin besar gap atau kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang kita rasakan, maka kemungkinan orang untuk marah akan semakin besar. Tentunya, hal ini tidak berlaku pada orang-orang yang sudah memiliki pengendalian diri cukup baik.
Namun pernahkah kita melakukan review apakah amarah yang kita keluarkan itu sudah tepat? Atau apakah kemarahan yang kita keluarkan ternyata tidak tepat? Bagaimana indicator benar atau salah dari kemarahan yang kita lakukan?
Sesungguhnya kemarahan adalah mekanisme perlindungan diri yang dirancang untuk memperingatkan pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam mereka terhadap diri kita. Itu sebabnya pada dasarnya perilaku marah kita dapat juga dianggap sebagai hal positif bagi diri kita sendiri. Namun yang menjadi kurang tepat adalah ketika kemarahan yang kita keluarkan membuat kita tidak memikirkan situasi dan kondisi di lingkungan yang akhirnya justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain disekitar kita.
Kemarahan yang kita keluarkan harus demi kebaikan orang lain disekitar kita dalam jangka pendek maupun panjang. Karena marah itu sebenarnya bersifat netral. Baik atau buruknya marah itu sendiri sebenarnya sangat ditentukan dengan waktu dan konteks kemarahan yang kita keluarkan.
Setiap kemarahan yang kita keluarkan seharusnya bukan menjadi ajang melampiaskan kekesalan sesaat, melainkan agar kemarahan tersebut menjadi pembelajaran yang positif bagi lingkungan sekitar kita
Jadi, yuk belajar menyikapi kemarahan dengan tepat.
Emosi itu
layaknya menggoreskan sebuah pensil ke sebuah kertas. Kita mungkin bisa
menghapus goresan tulisan tersebut di kemudian hari. Namun yang harus kita
sadari adalah goresan pensil tersebut akan tetap menimbulkan bekas dalam selembar kertas yang kita miliki.
“Memangnya harus
dengan marah-marah seperti itu ya?”
“Harus donk,
biar mereka tau kalau aku bisa tegas. Jadi mereka nggak bisa seenaknya.”
“tegas sih
tegas, tapi bukannya apa yang kamu lakukan itu berpotensi menyinggung perasaan
mereka?”
“jadi maksud
kamu, yang aku lakukan salah gitu?”
“Bukan salah,
tapi bedakan antara tegas dan keras. Yang dibutuhkan sebagai seorang pemimpin
itu ketegasan, bukan kekerasan. Karena semua anggota tim mu itu kan manusia biasa yang memiliki hati.
Ada kemungkinan tindakanmu itu akan membekas di hati mereka.”
Pernahkah kita melampiaskan emosi terhadap lingkungan kita tatkala
menjalankan aktifitas sehari-hari? Sebagai seorang manusia yang memiliki
keterbatasan, memang tidak dapat dipungkiri bila kita bisa saja kehilangan
kesabaran yang membuat diri kita kita melampiaskan emosi kepada orang lain
disekitar kita.
Emosi ini cukup wajar muncul dalam diri kita ketika menghadapi berbagai
hambatan yang memang menguji kesabaran. Karena kehidupan kita memang tidak akan
pernah berjalan dengan ideal. Selalu ada hal-hal yang berjalan tidak sesuai
dengan apa yang telah kita rencanakan. Terutama ketika kita menjadi seorang
pemimpin yang harus mengelola tim dengan berbagai macam karakter. Tentu
menghadapi berbagai macam karakter manusia akan menjadi ujian yang cukup berat
untuk kesabaran kita.
Kesabaran pada dasarnya penting untuk menghindarkan diri kita dari sebuah penyesalan.
Sebagai manusia biasa yang acapkali melakukan kesalahan, sudah selayaknya kita
berhati-hati dalam memutuskan sesuatu atau melakukan sesuatu. Jangan sampai
diri kita justru melakukan hal-hal yang kurang sesuai sehingga akhirnya membuat
diri kita menyesal.
Mungkin kita bisa saja mengucapkan sebuah ungkapan penyesalan. Namun, yang
harus kita sadari adalah ketika kita terlanjur menyakiti hati seseorang, tidak
mudah untuk membuat orang tersebut memaafkan diri kita. seperti analogi pensil
yang walaupun sudah coba dihapus, namun goresannya akan tetap membekas dalam
kisah diatas.
Maka, berhati-hatilah dalam setiap tindakan kita, agar penyesalan tak
mendatangi keseharian kita
Keinginan seringkali dapat menjadi bahan bakar yang tepat untuk menggerakkan seseorang menuju tujuannya, walaupun lingkungan seakan tak mendukung orang tersebut untuk menggapai apa yang diingankannya.
Chris Gardner adalah seorang pria kelahiran Milwaukee, Amerika Serikat 9 Februari 1954. Pria bernama lengkap Christopher Gardner ini tumbuh menjadi sosok laki-laki yang hanya diasuh oleh sang ibu sejak bayi. Di usia yang terbilang cukup muda, Chris berhasil mengembangkan Gardner Rich & Co yaitu sebuah konsultan pengelolaan saham di amerika yang cukup terkemuka. Di tahun 2006 Chris memutuskan untuk menjual sahamnya di Gardner dengan nilai mencapai jutaan dollar. Setelah melakukan hal tersebut, ia kemudian menjadi pendiri sekaligus CEO dari Christopher Gardner International Holding yang berlokasi di New York, Chicago dan San Fransisco.
Chris sangat pandai memanfaatkan kesempatan. Kemampuannya dalam melihat peluang membawanya untuk melakukan dialog dengan Nelson Mandela dan mencari tahu mengenai kemungkinan investasi di wilayah Afrika Selatan. Hasilnya, ia berhasil menanamkan investasi di Afrika Selatan dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi ratusan mayarakat Afrika Selatan
Kisah kesuksesan seorang Chris Gardner sendiri sebenarnya dibangun dari pengalaman masa kecil yang penuh permasalahan. Ia pernah mengalami semua hal yang menyakitkan dalam hidupnya, mulai dari dianiaya oleh ayah tiri, ditinggal sang istri, ditangkap polisi hingga kesulitan membayar hutang-hutangnya.
Kala Chris masih kecil, sang ibu bekerja sebagai guru dan mengambil 3 pekerjaan sambilan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Chris sempat tinggal berpindah-pindah di rumah saudara hingga di panti asuhan. Ia kemudian sempat menuntut ilmu di sebuah sekolah militer Amerika Serikat.
Chris bukanlah seorang pebisnis sukses yang memiliki pendidikan yang tinggi. Namun ia selalu berusaha belajar dan memotivasi dirinya sendiri untuk menjalankan hidup secara lebih baik lagi dari hari kemarin. Keinginan untuk mengentaskan hidupnya dari kemiskinan akhirnya memunculkan motivasi yang kuat dan menggerakkan dirinya untuk melakukan usaha yang lebih dibanding orang lain disekitarnya. Akhirnya kesuksesan pun didapatkannya.
Maka, bila saat ini kita merasa kurang termotivasi dalam menjalani segala aktifitas kita dan mengalami kesulitan untuk membangun motivasi yang dibutuhkan, segera temukan hal besar yang ingin dicapai dalam kehidupan kita. Karena dari hal besar itulah kita akan menemukan motivasi terbesar yang akhirnya mampu menggerakkan diri kita untuk mengeluarkan usaha yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan kita
Seorang pria menemukan sebuah kepompong kupu-kupu di sebuah tanaman yang ada di halaman rumahnya. Penasaran dengan kepompong ini, maka sang pria lalu mengamati perkembangannya dengan seksama. Suatu hari lubang kecil muncul, pria itu duduk dan mengamati kupu-kupu kecil yang muncul dari kepompong ini selama beberapa jam. Kupu-kupu kecil ini terlihat sedang berjuang untuk memaksa tubuhnya keluar melalui lubang kecil. Kemudian tampak kupu-kupu kecil ini berhenti bergerak dan tidak membuat kemajuan. Binatang itu tampaknya terjebak.
Sang pria memutuskan untuk membantu kupu-kupu ini. Dengan sepasang gunting pria itu memotong kepompong hingga salah satu ujungnya terbuka lebar. kupu-kupu kecil kemudian muncul dengan mudah. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Kupu-kupu ini memiliki tubuh bengkak dan sayapnya mengkerut. Pria itu berharap kupu-kupu ini memiliki proporsi ukuran sayap yang benar. Tapi tidak ada yang berubah. Sayap kupu-kupu ini tetap sama seperti sebelumnya. Kupu-kupu ini akhirnya tidak pernah bisa terbang.
Sang pria tidak menyadari bahwa perjuangan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil dari kepompong adalah cara alami untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu ke sayapnya sehingga kupu-kupu tersebut nantinya benar-benar siap untuk terbang. Artinya dari kesulitan yang dialami itulah sebenarnya kupu-kupu tersebut sedang mengalami proses pembelajaran untuk terus berkembang. Walau terkesan menyulitkan, namun proses inilah yang akan membuat kupu-kupu tersebut akhirnya dapat terbang.
Sama seperti yang sering kita alami dalam kehidupan kita. dalam beberapa kesempatan, kita akan melihat ada banyak kesulitan yang kita rasakan sehingga kita mengharapkan bantuan dari orang lain disekitar kita. namun yang harus kita sadari adalah ada kalanya kita harus memperjuangkan dan menghadapi kesulitan tersebut sendiri sehingga diri kita akan mampu mendapatkan perkembangan yang memang kita harapkan di masa depan.
Bukankah kesulitan dan permasalahan adalah syarat untuk sebuah perkembangan??
“Dasar bodoh, udah diingatkan berkali-kali tapi masih saja melakukan kesalahan.” Umpat seorang lelaki pada rekannya. Tampaknya lelaki ini sedang menumpahkan kekesalannya pada sang rekan akibat kesalahan rekannya dalam sebuah pertandingan sepakbola yang baru saja berakhir dengan kekalahan tim mereka.
Pernahkah kita memberikan cap negatif kepada seseorang dengan ungkapan “bodoh” seperti dalam kisah diatas? Mungkin kisah hidup Adam Khoo ini dapat menjadi inspirasi tentang bagaimana seharusnya kita berhati-hati terhadap sebuah label atau cap.
Ketika umur 12 tahun Adam dicap sebagai orang yang malas, bodoh, serta agak terbelakang. Akibatnya, ketika masuk SD, dia sangat membenci pelajaran dan hanya mau main game computer serta nonton TV. Karena tidak belajar, Adam banyak mendapatkan nilai F yang membuat dia semakin benci kepada gurunya, benci terhadap pelajaran, serta sangat membenci sekolahnya.
Saat duduk di kelas 3 dia dikeluarkan dari sekolah dan dipindahkan ke sekolah yang lain. Ketika akan masuk SMP, dia ditolak 6 sekolah dan akhirnya masuk sekolah yang paling jelek di daerahnya. Di sekolah ini, Adam Khoo termasuk yang paling bodoh. Di antara 160 murid seangkatan, Adam Khoo menduduki peringkat 10 terbawah.
Pada umur 13 tahun, Adam Khoo dikirim ke Super-Teen Program yang diajari oleh Ernest Wong, yang menggunakan teknologi Accelerated Learning, Neuro Linguistic Programming (NLP) dan Whole Brain Learning. Sejak saat itu keyakinan Adam Khoo berubah. Ia yakin bahwa dia bisa. Ernest Wong berkata bahwa, “Satu-satunya hal yang bisa menghalangi kita adalah keyakinan yang salah serta sikap yang negatif.” Kata-kata inilah yang akhirnya mempengaruhi Adam Khoo.
Dalam waktu 3 bulan rata-rata nilainya naik menjadi 70. Dalam satu tahun, dari ranking terbawah dia menduduki ranking 18. Ketika lulus SMP, dia menduduki ranking 1 dengan Nilai Ebtanas Murni A semua untuk 6 mata pelajaran yang diuji. Dia kemudian diterima di Victoria Junior College dan mendapatkan nilai A untuk tiga mata pelajaran favoritnya. Akhirnya dia diterima di National University of Singapore (NUS) dan karena di universitas itu setiap tahun dirinya menjadi juara, akhirnya Adam Khoo dimasukkan ke NUS Talent Development Program. Program ini diberikan khusus kepada 10 mahasiswa yang dianggap jenius.
Bagaimana seorang yang tadinya dianggap bodoh, agak terbelakang, dan tidak punya harapan, serta menduduki ranking terendah di kelasnya bisa berubah, menjadi juara kelas dan dianggap genius? Seperti yang sudah dijelaskan oleh Ernest Wong bahwa yang akan menghambat diri kita adalah keyakinan yang salah dan sikap yang negatif dari diri kita sendiri.
Kesuksesan Adam Khoo datang dari perubahan keyakinan yang salah menjadi keyakinan yang tepat, yaitu dari keyakinannya tentang, “Saya bodoh dan lulus saja sulit” menjadi “Kalau orang lain bisa, maka saya juga bisa.”
Dio tak pernah melupakan kalimat pertama yang keluar dari orang yang ingin merekrutnya di salah satu sesi wawancara dengan perusahaan ini yaitu, “Saya tidak hanya cari orang pintar, tapi orang yang bisa dipercaya dan diandalkan.” Kala itu Dio masih sebagai berstatus mahasiswa tingkat akhir yang akan menyelesaikan studi. Sembari menanti pengumuman kelulusan studi, Dio mulai mencari-cari pekerjaan yang cocok bagi dirinya.
Dari beberapa perusahaan melakukan interview terhadap Dio, baru kali ini dia merasakan suasana yang berbeda. Dio merasa seperti ada harapan lebih dari orang yang mewawancarainya tersebut terhadap dirinya. Itulah yang membuat akhirnya Dio tertarik untuk mencoba peruntungannya di perusahaan ini. Singkat cerita, setelah melalui beberapa tahapan yang dibutuhkan akhirnya Dio pun diterima.
Tanpa terasa, hari ini sudah 10 tahun Dio berada di perusahaan ini. di tempat ini jugalah Dio mengembangkan dirinya sejalan dengan perkembangan perusahaan. banyak rekan-rekannya yang bertanya bagaimana Dio akhirnya bisa memutuskan untuk bertahan di perusahaan yang sama selama sepuluh tahun di kala banyak orang lainnya yang begitu mudahnya berganti pekerjaan dengan iming-iming benefit lebih yang mampu didapatkan.
Dio bukanlah orang yang pintar. Tapi Dio senantiasa berusaha untuk selalu dapat dipercaya dan diandalkan. Mungkin hal inilah yang akhirnya membuat Dio memutuskan untuk bertahan. Karena Dio merasa masih ada tantangan dan kepercayaan yang diberikan oleh perusahaan. Kepercayaan inilah yang akhirnya memotivasi dirinya untuk terus belajar, terus maju dan melanjutkan estafet kepemimpinan di perusahaan
Perusahaan ini pun bukanlah tempat yang sempurna. Selalu ada pro kontra dan perbedaan dalam perjalanan organisasi ini. Namun, Dio yakin bahwa di luar sana pun tidak ada perusahaan yang benar-benar sempurna. yang ada hanyalah perusahaan yang dengan segala ketidaksempurnaannya tetap mampu menjadikan karyawannya menjadi orang yang memiliki value dan bermakna bagi lingkungan sekitarnya. Dan Dio yakin bahwa di tempat inilah dirinya dapat senantiasa belajar dan berkembang kearah yang lebih baik.
Dari kisah Dio diatas, kita dapat belajar bahwa benefit bukanlah merupakan satu-satunya penentu engagement seseorang didalam sebuah perusahaan. Benefit atau materi memang penting, tapi bukan karena itulah seseorang memutuskan untuk akhirnya bertahan. Salah satu buktinya adalah, masih banyak orang yang memiliki gaji tinggi dan benefit yang baik akhirnya memutuskan untuk pergi karena dirinya tidak menemukan sesuatu yang membuat dirinya tertantang dan berkembang di sebuah perusahaan.
Karena pada dasarnya, setiap tantangan dan kepercayaan yang diberikan oleh sebuah perusahaan, itulah yang justru akan membuat setiap karyawannya tetap tergerak untuk melanjutkan perkembangan dirinya bersama perusahaan. Dan ketika seorang karyawan telah memutuskan untuk berkembang bersama sebuah perusahaan, disitulah tersimpan potensi perkembangan didalam perusahaan itu sendiri
Namanya adalah Sayaka, saat kecil cita-citanya adalah memiliki teman. Cita-cita ini muncul bukanlah tanpa alasan. Dulunya, dia sering dibully dan tidak memiliki teman sehingga sering berpindah sekolah. Suatu hari, Sayaka melihat segerombolan siswi dan tertarik dengan seragam yang mereka gunakan. Ternyata seragam yang dikenakan adalah seragam sekolah swasta khusus untuk anak perempuan. Melihat ketertarikan anaknya, sang ibu pun memasukkan Sayaka ke sekolah tersebut dan meminta Sayaka untuk bersenang-senang. Maka Sayaka pun menghabiskan waktu di sekolah untuk berteman dan bersenang-senang.
Namun ternyata Sayaka justru terlalu berlebihan dalam bersenang-senang. Saat SMA, Sayaka masuk di kelas yang berisi kumpulan siswi dengan peringkat terbawah di sekolahnya. Selain itu, Sayaka kerap membuat masalah yang membuat dirinya sering terkena hukuman skors dan terancam drop out
Menyadari masa depan anaknya terancam suram, sang ibunda pun akhirnya meminta Sayaka untuk mengikuti bimbingan belajar persiapan masuk universitas. Dari hasil tes penempatan bimbingan belajar ternyata diketahui bahwa Sayaka hanya memiliki kemampuan akademik setara kelas 4 SD.
Meski begitu, Guru Bimbel Sayaka meminta Sayaka untuk tetap optimis dan berjuang masuk salah satu Universitas terbaik di Jepang. Sayaka pun memilih Universitas Keio, universitas swasta terbaik di Jepang.
Perjuangan Sayaka untuk masuk Universitas Keio tidaklah mudah. Dia harus mengejar ketertinggalannya. Di sekolah, Sayaka berada di ranking terbawah dengan nilai standar deviasi 30 sementara yang masuk Keio biasanya memilki nilai standar deviasi 70. Melihat kondisi Sayaka ini, sang ayah justru mengejeknya dan meyakini bahwa Sayaka tak akan bisa diterima di universitas Keio. Sayaka pun makin termotivasi untuk membuktikan diri kepada orang tuanya bahwa dia bersungguh-sungguh dengan tujuannya. Walaupun memiliki banyak keterbatasan, namun akhirnya Sayaka berhasil lulus tes Universitas Keio di Jepang dengan ketekunannya.
Ketekunan adalah sesuatu yang menggerakkan kita menuju kesuksesan dengan lebih efektif ketimbang sebuah kepandaian. Mengapa demikian? Karena orang-orang yang pandai, biasanya cenderung tidak sabar dalam menjalani proses yang dibutuhkan. Kepandaian yang dimiliki terkadang membuat mereka merasa seharusnya mudah untuk mendapatkan sesuatu. Maka, setiap kendala atau permasalahan didalam proses menuju apa yang ingin mereka dapatkan tersebut akan cenderung membuat mereka mudah menyerah.
Dan begitu pula sebaliknya dengan Sayaka dalam kisah diatas, menyadari bahwa dirinya kurang pandai membuat dia mengerahkan upaya semaksimal mungkin untuk mengimbangi kekurangannya tersebut. Hal ini mendorong motivasinya untuk berusaha lebih keras dan lebih tekun menjalani proses di tengah keterbatasan yang dimilikinya sehingga akhirnya keberhasilan pun mampu dia dapatkan
Maka, tidak perlu merasa risau jika hari ini kita merasa belum pandai, karena yang terpenting sesungguhnya bukanlah kepandaian yang kita miliki, melainkan ketekunan yang kita tunjukkan dalam proses menuju keberhasilan yang kita dapatkan
Memahami apa yang kita inginkan itu penting agar kita mengetahui langkah yang dibutuhkan. Kisah dibawah ini, mungkin dapat menggambarkan pentingnya memahami apa yang kita inginkan dari setiap permasalahan yang kita rasakan.
Seorang lelaki terlihat sedang duduk di kantin sebuah gedung perkantoran di kawasan Jakarta. Raut wajah lelaki ini menyiratkan bahwa dirinya sedang menghadapi permasalahan yang serius. Sapaan ceria dari beberapa rekan yang lalu lalang disekitarnya tak membuat lelaki ini merubah raut wajah sedikitpun. Karena penasaran, salah seorang diantara rekan yang memberikan sapaan tadi mendatangi sang lelaki untuk kemudian memberikan pertanyaan.
“Kamu kenapa?”
“Aku lagi dilema nih. Sepertinya aku harus pindah kerja. Selain karena standar gaji disini nggak sesuai ekspektasi, aku merasa nggak cocok dengan atasanku juga.”
“Memangnya kamu pingin kerja dimana?”
“Nggak tahu. Yang jelas aku merasa nggak cocok dengan lingkungan kerja disini.”
“Memangnya kamu cocoknya dengan lingkungan kerja yang seperti apa?”
Tampaknya, Lelaki ini tidak mampu menjawab pertanyaan terakhir dari rekannya tadi.
Banyak diantara kita yang sering merasakan ketidakcocokan atas suatu kondisi. Ketidakcocokan ini biasanya muncul dengan beragam alasan, mulai dari permasalahan dengan atasan, keuangan ataupun masalah dengan lingkungan kerja disekitarnya.
Namun ketika ditanya lebih jelas tentang bagaimana kondisi ideal yang diharapkan dari sebuah tempat kerja, seringkali kita membutuhkan waktu lebih lama untuk menemukan jawabannya. Dalam beberapa kesempatan lain, kita juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebagian orang bahkan lebih suka menggambarkan kondisi ideal yang dia harapkan dengan kalimat, “ yang penting tidak seperti disini.”
Padahal, mengetahui dengan detail dan jelas tentang sesuatu yang ingin kita dapatkan atau ingin kita tuju itu sangat penting agar kita semakin memahami langkah yang perlu dilakukan untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Karena ketidaktahuan tentang kemana kita ingin menuju seringkali membuat diri kita akhirnya memilih tempat yang salah lainnya.
Contohnya adalah dalam hal memilih tempat kerja seperti kisah diatas. Kita boleh saja memutuskan untuk pergi dari lingkungan kerja kita saat ini dengan berbagai pertimbangan yang kita miliki sendiri. Namun ketika kita sendiri belum memahami lingkungan kerja seperti apa yang sesungguhnya ingin kita cari, maka cukup besar kemungkinan diri kita salah memilih tempat kerja lagi. Dampaknya, tentu saja akan mengganggu perkembangan karir diri kita di tempat kita bekerja nantinya.
Maka, jika saat ini kita masih merasakan ketidaknyamanan didalam pekerjaan kita, pastikan kita telah memahami terlebih dahulu lingkungan pekerjaan seperti apa yang kita harapkan. Sehingga kita mampu merancang langkah kita dengan lebih baik menuju lingkungan kerja yang sesuai dengan harapan kita sendiri. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari penyesalan yang bisa saja kita rasakan di masa depan.
“Aku suka sama kamu” seorang pria berkata pada wanita yang ada di dekatnya.
Wanita ini tampak kaget dan terlihat tidak siap mendengar kalimat yang diucapkan oleh teman lelakinya tadi sehingga membuat sang wanita terdiam beberapa saat. Dalam diamnya ini, terlihat jelas bahwa sang wanita memikirkan jawaban yang harus dia berikan pada sang lelaki.
Setelah terdiam selama 5 menit, wanita ini menjawab dengan kalimat, “Maaf, aku mau fokus dulu.”
Pernahkah kita menyatakan cinta kepada sang pujaan hati kemudian dia berkata, “Maaf, Aku mau fokus dulu” seperti kisah diatas? bagi sebagian diantara kita pasti berkata bahwa itu adalah alasan atau akal-akalan dari kaum wanita yang sebenarnya memang ingin menolak kaum pria. Tapi bagaimana kalau ternyata alasan itu adalah benar adanya?
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Henk van Steenbergen bersama beberapa orang dari Leiden University dan The University of Maryland menyatakan bahwa hubungan asmara sejatinya membuat produktivitas kita berkurang. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia tidak akan mampu fokus pada banyak hal disaat yang sama. Ketika kita fokus pada sesuatu, maka kita akan mengeluarkan kemampuan yang kita miliki untuk menyelesaikan satu hal yang kita fokuskan tadi.
Dalam penelitiannya, Steenbergen melakukan analisa pada 43 peserta yang sudah berhubungan selama kurang dari 6 bulan. Para relawan diminta untuk melakukan beberapa tugas untuk mengetahui bagaimana tingkat produktivitas dan kemampuan otak untuk fokus pada suatu masalah. Hasilnya menunjukkan bahwa gairah cinta yang timbul pada diri relawan membuat pola pikir dan konsentrasi berkurang sehingga kemampuan untuk menyelesaikan tugas pun berkurang.
Lantas apa yang harus kita lakukan setelah melihat studi diatas? Apakah kita dilarang merasakan sebuah cinta? Bukankah perasaan cinta adalah sesuatu yang wajar dimiliki dalam diri manusia?
Yang harus kita sadari adalah studi diatas bukan bermaksud untuk menghindarkan diri kita dari perasaan yang mungkin dapat muncul dalam hati, melainkan agar kita lebih mawas diri dan belajar cara menyikapi setiap keadaan dengan lebih bijaksana. Ketika kita tahu bahwa perasaan tersebut dapat mengurangi fokus kita, maka kita harus lebih berhati-hati dan jangan sampai perasaan tersebut akhirnya mengganggu rutinitas atau aktifitas lain yang memang sudah menjadi tanggung jawab kita.
Bukankah dampak baik atau buruknya sesuatu itu ditentukan oleh cara kita sendiri dalam menyikapi setiap keadaannya?
Kecerdasan pikiran bukanlah segalanya, karena yang juga dibutuhkan dalam kehidupan adalah kecerdasan didalam membangun sebuah hubungan. Sejak kecil, Vian memang tidak terlalu pintar dalam mata kuliah yang berhubungan dengan angka dan statistika. Entah kenapa mata kuliah ini terasa sangat memberatkan dirinya. Vian mendapatkan nilai D untuk pelajaran ini selama beberapa semester lalu.
Namun Vian tidak putus asa, dia tak pernah berhenti mencoba dan berusaha. Berbagai metode belajar dia terapkan dalam kesehariannya yang membuatnya kerap begadang semalaman. Tapi Vian tak pernah mengeluh karena dia merasa ini adalah usaha yang memang harus dia perjuangkan
Akhirnya pengumuman hasil ujian akhir semester pun tiba. Hasil perjuangan Vian ternyata terbayar lunas karena akhirnya dirinya mampu mendapatkan nilai B. Betapa senangnya Vian ketika itu. Saking senangnya, Vian berencana memasang hasil nilainya di dinding kamarnya sebagai motivasi untuk mata kuliah lainnya. Vian kemudian bercerita kepada Iko salah seorang teman dekatnya.
“Ko akhirnya statistik ku dapet nilai B“ ujar Vian
“Ah baru dapat nilai B saja udah seneng, aku yang dapet A aja biasa-biasa aja“, sahut Iko.
Sejak di sekolah dasar, Iko memang terkenal pintar di kelasnya dan selalu masuk ke dalam rangking 3 besar di kelas. Vian yang saat itu sedang berbinar-binar dan semangat bercerita tiba-tiba langsung terdiam ketika mendengar komentar dari Iko. Kebahagiaannya perlahan meredup dan digantikan dengan kekecewaan.
Sikap yang ditunjukkan oleh Iko memberikan gambaran pada diri kita tentang orang-orang yang memiliki EQ rendah. Walaupun orang-orang tersebut pintar secara akademis, namun dalam menjalani aktifitasnya, orang-orang tersebut mengalami kegagalan dalam memahami perasaan orang lain disekitarnya
Sekarang, mari kita lihat situasi selanjutnya
“Vian, kenapa kamu keliatan sedih hari ini?” sapa Intan begitu masuk ke kelas.
“aku cuman dapet nilai B dalam statistik” ujar Vian dengan nada lesu
“Wow hebat donk, kamu sempet ngulang lagi kan kemaren gara-gara dapet D. Bagus donk sekarang dapet B“, hibur Intan kepada Vian.
“Nggak perlu risau dan nggak perlu terlalu dipikirkan juga Vian. Walaupun belum maksimal, tapi setidaknya kamu kan sudah berusaha giat untuk mengejar nilai ini. Malah aku salut melihat mahasiswa yang punya semangat untuk berubah seperti dirimu.” ujar Intan membanggakan Vian.
Apa yang bisa kita pelajari dari dua jenis situasi diatas?
Begitulah kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ itu bekerja. Orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi cenderung mampu memahami perasaan orang lain disekitarnya seperti yang dilakukan Intan. Walau Intan sebenarnya juga tidak kalah pintar dalam pelajaran dibandingkan Iko, namun dia juga pintar memahami perasaan orang lain.
EQ membantu kita menjadi seseorang yang sukses dalam menjalani kehidupan sosial dalam keseharian. Karena EQ membuat kita lebih peka terhadap kebutuhan perasaan atau emosi orang lain sehingga kita kemudian memahami langkah untuk mengatasinya. Itu sebabnya banyak pihak yang sepakat bahwa EQ atau kecerdasan emosional adalah salah satu kunci sukses diri kita didalam karir dan pekerjaan kita.
Motivasi itu mutlak dibutuhkan dalam setiap aktivitas kita. Karena pada akhirnya motivasi itulah yang akan membuat diri kita mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kegagalan yang ada. Abraham Lincoln adalah salah satu contoh orang yang sukses dalam menjaga motivasi tatkala menghadapi kesulitan dan kegagalan. Hal ini tidak lepas dari kisah keberhasilan beliau untuk mendapatkan apa yang dia inginkan setelah mengalami kegagalan dalam hidupnya selama 20 tahun.
Kegagalan-kegagalan tersebut antara lain :
1. Gagal dalam bisnis pada tahun 1831.
2. Dikalahkan di Badan Legislatif pada tahun 1832.
3. Gagal sekali lagi dalam bisnis pada tahun1833.
4. Mengalami patah semangat pada tahun 1836.
5. Gagal memenangkan kontes pembicara pada tahun 1838.
6. Gagal menduduki dewan pemilih pada tahun 1840.
7. Gagal dipilih menjadi anggota Kongres pada tahun 1843.
8. Gagal menjadi anggota Kongres pada tahun 1848.
9. Gagal menjadi anggota senat pada tahun 1855.
10. Gagal Menjadi Presiden Pada Tahun 1856.
11. Gagal Menjadi anggota Dewan Senat pada tahun 1858.
Berbagai kegagalan yang dialami dalam dunia politik tidak lantas membuat Abraham Lincoln menyerah. Abraham Lincoln akhirnya berhasil menjadi presiden Amerika ke -16 pada tahun 1980 dan sempat disebut sebagai salah satu presiden tersukses dalam memimpin bangsanya, menghentikan perang saudara Amerika, dan menghapuskan perbudakan.
Kira-kira apa yang akan terjadi bila diri kita mengalami kegagalan demi kegagalan terus menerus selama puluhan tahun seperti yang di alami oleh Abraham Lincoln? Bisa jadi diri kita akhirnya berhenti dan menyerah dalam menggapai apa yang jadi tujuan kita tersebut. Karena tidak mudah untuk bisa bertahan ketika lingkungan selalu menunjukkan pada diri kita tentang pahitnya sebuah kegagalan.
Apa yang membuat Abraham Lincoln bersedia bertahan menghadapi kegagalannya kala itu? Jawabannya hanya satu, yaitu MOTIVASI. Satu hal yang membuat Abraham Lincoln tetap bertahan dari setiap kegagalan yang dia alami adalah motivasinya yang kuat untuk menghapuskan praktik perbudakan yang kala itu masih banyak ditemui di Amerika. Tanpa disadari, motivasinya ini menjadi energi penggerak utama yang membuat dirinya terus maju walaupun sempat merasakan kegagalan yang bertubi-tubi.
Keberhasilan hanya bisa diraih dengan bertahan dari kegagalan. Dalam proses pencapaian kesuksesan, akan banyak rintangan dari luar, caci maki dan cemoohan dari lingkungan di sekitar kita. namun selama kita mampu menemukan motivasi yang dibutuhkan dari dalam diri kita, maka kita akan mampu menghadapi setiap rintangan dan hambatan tersebut hingga akhirnya kita bisa meraih sesuatu yang memang kita harapkan
Jadi, sudahkah kita menemukan motivasi terkuat dalam setiap aspek kehidupan kita?
Tidak ada yang bisa kita lakukan di tengah dunia yang penuh perubahan selain terus berupaya mengembangkan kemampuan yang kita miliki untuk menghadapi masa depan. Ada yang ingat dengan sebuah produk bernama Kodak? Sekitar tahun 90-an adalah waktu dimana Kodak sangat berjaya dengan produk kamera manual dan film seluloidnya. Maka tak heran jika masa-masa ini disebut “Kodak Moment”.
Kodak yang didirikan oleh Goerge Eastman pada 1892 ini sejak awal memproduksi kamera Analog. Bahkan kamera buatan Kodak tercatat dalam sejarah sebagai kamera yang digunakan oleh astronot pertama yang mendaratkan kakinya di bulan yaitu Neil Amstrong untuk memotret objek-objek di permukaan bulan pada tahun 1969.
Enam tahun kemudian kodak mulai memproduksi kamera digital. Artinya Kodak sebenarnya adalah perusahaan yang pertama kali memproduksi kamera digital. Namun setelah teknologi kamera digital mulai berkembang, kodak bukannya mengembangkan kamera digitalnya tapi justru terpacu untuk memproduksi secara besar-besaran kamera analognya yang memang saat itu menjadi andalan perusahaan ini.
Perlahan namun pasti teknologi terus berkembang. Perusahaan-perusahaan di Asia seperti Casio dan Canon melihat bahwa peluang pasar kamera digital sedikit demi sedikit terus meningkat. Seakan memahami tren pasar di masa depan, Casio dan Canon pun akhirnya berusaha melakukan pengembangan kamera digital dengan sangat serius
Akhirnya ketika dunia benar-benar memasuki era kamera digital, Kodak kelabakan oleh persaingan dengan rivalnya dari Asia yaitu Casio dan Canon. Bisnis film kamera pun berakhir dan Kodak kesulitan menghasilkan keuntungan. Kamera digital generasi pertama dari Kodak juga kurang diminati karena miskin inovasi. Perkembangan media penyimpanan seperti SD Card tidak diikuti oleh Kodak yang masih berfokus pada kamera filmnya. Alhasil Kodak akhirnya harus menutup bisnisnya.
Apa yang bisa kita pelajari dari sejarah Kodak ini? sebagai sebuah organisasi, Kodak seharusnya terus melakukan pembelajaran dan meningkatkan kemampuannya untuk menciptakan inovasi. Hal ini penting agar Kodak dapat senantiasa merespon perubahan yang muncul sehingga mampu menghadapi pesaing-pesaingnya.
Sama seperti Kodak, sebagai manusia, kita juga senantiasa dituntut untuk terus melakukan pembelajaran dan meningkatkan kemampuan yang kita miliki. Hal ini dibutuhkan untuk menghadapi persaingan di masa depan yang berjalan makin keras dan serba cepat. Jika kita tidak berusaha membenahi diri secara terus menerus, maka besar kemungkinan diri kita akan segera tergantikan dengan orang lain yang lebih siap dengan perubahan itu sendiri
Sayangnya, masih sedikit orang yang menyadari pentingnya mengembangkan diri. Sebagian besar diantara kita masih banyak yang cenderung terjebak didalam zona nyaman kehidupannya saat ini sehingga akhirnya mereka lengah terhadap perubahan di masa depan.
Jadi, apakah kita masih termasuk ke dalam orang-orang yang terjebak dalam zona nyaman??
Untuk bisa mendapatkan kesuksesan dalam karir dan kehidupan itu pada dasarnya butuh kesabaran. Karena kesuksesan adalah ujung akhir dari proses yang kita lakukan. Artinya, jika suatu hari kita berhenti di tengah-tengah sebuah proses, itu sama saja diri kita sedang berhenti meraih kesuksesan yang kita harapkan.
Banyak orang yang mengagumi kesuksesan Soichiro Honda dalam mengembangkan bisnisnya. Namun, orang-orang tersebut tidak menyadari bahwa dibalik keberhasilan itu ada proses kegagalan panjang yang harus Honda lewati. Saat merintis bisnisnya, Soichiro Honda memang selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun tak pernah berhenti bersabar sembari terus berusaha menjalani prosesnya.
Soichiro Honda bukanlah siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru dan nilai sekolahnya pun selalu jelek. Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja di Hart Shokai Company. Bosnya, yaitu Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya.
Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan pada Honda untuk membuka kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya. Di Hamamatsu prestasi kerja Honda makin meningkat. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga normal kembali.
Pada zaman itu, velg mobil para pelanggannya masih terbuat dari kayu, hingga kurang baik dalam hal meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan velg kayu itu dengan logam. Hasilnya luar biasa karena velg logamnya laku keras dan diekspor ke seluruh dunia.
Setelah menciptakan velg, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang sebaiknya dia pilih? Pikirannya tertuju kepada pembuatan Ring Piston yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual.
Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah, ia langsung ke bengkel, mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh.
Berkat kerja kerasnya, desain Ring Piston Honda akhirnya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Namun niatnya kandas karena kala itu Jepang sedang membutuhkan dana untuk modal perang sehingga tidak bersedia memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Namun, lagi-lagi musibah datang, setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali.
Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Para karyawannya ini diperintahkan untuk mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat untuk digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya.
Di tahun 1947 setelah perang, kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia mencoba memasang motor kecil pada sepeda dan ditunjukkan pada para tetangganya. Siapa sangka, akhirnya produk yang merupakan cikal bakal lahirnya kendaraan bermerk “Honda” itu sangat diminati. Mereka berbondong-bondong memesan sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda memutuskan mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya.
Coba bayangkan bila di tengah-tengah proses yang Soichiro Honda pernah jalani itu, dia memutuskan untuk berhenti berusaha? Kira-kira bisakah Honda menjadi sukses seperti sekarang ini?
Sama halnya dengan diri kita tatkala menjalani aktifitas kita. ketika kita menginginkan sesuatu untuk kita raih, pastikan kita mempersiapkan diri untuk menjalani prosesnya dengan konsisten dan sabar. Karena tanpa konsistensi dan kesabaran itu, kita bisa saja terlampau mudah berhenti menjalani prosesnya di tengah jalan. Hal ini membuat proses menuju kesuksesan yang mungkin sudah dekat saat itu jadi tak mampu kita lihat dan akhirnya kita pun tidak berhasil mendapatkan kesuksesan yang kita harapkan
Cinta selalu memiliki energinya tersendiri untuk membuat diri kita bersedia melakukan segalanya, terutama demi wanita yang kita cintai. Tapi, benarkah situasinya selalu seperti itu? Benarkah demi seorang wanita yang dicintai, seorang pria senantiasa bersedia melakukan segalanya? Mungkin kisah cinta Bung Hatta ini dapat dijadikan inspirasi tentang bagaimana kita memaknai sebuah cinta.
Kisah cinta Bung Hatta dan istrinya, Rahmi, tergolong unik. Disebut unik karena kisah cinta mereka berdua ini tumbuh di tengah kondisi negara yang belum jelas dan sedang dalam proses memperjuangkan hak kemerdekaannya. Bung Hatta sendiri sebenarnya di masa itu tidak pernah memikirkan tentang perasaannya kepada seorang wanita karena sibuk mengurusi pergerakan nasional dalam rangka kemerdekaan Indonesia.
Berbagai kesibukan yang harus dijalani, ditambah lagi harus keluar masuk penjara, hingga diasingkan ke Digoel memang membuat Bung Hatta akhirnya terlambat menikah. Beliau menikahi Rahmi Hatta pada 18 November 1945, saat itu Bung Hatta berusia 43 tahun. Jadi, saat Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI bersama Bung Karno, dan ditetapkan sebagai wakil presiden RI, beliau masih berstatus bujangan.
Sejak awal, Bung Hatta sangat serius dengan cita-citanya. Semasa kuliah di Belanda, dia sangat rajin belajar, membaca dan menulis. Pernah seorang gadis Polandia yang cantik jelita menggodanya, namun Hatta tak tertarik. Jika Patih Gajah Mada memiliki Sumpah Palapa, yakni tidak akan makan buah palapa (simbol dari kenikmatan hidup) sebelum nusantara bersatu, Bung Hatta pun bertekad, tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Hal inilah yang membuat nyaris semasa mudanya, Bung Hatta tidak pernah memikirkan tentang hubungan percintaan dengan wanita secara serius.
Coba kita bandingkan dengan kondisi generasi muda kita saat ini. Masih banyak pemuda-pemudi di sekitar kita yang terlalu mudah merasakan cinta kepada seseorang namun tidak benar-benar mencintai negerinya. Alhasil aktifitas kesehariannya hanya dihabiskan demi seseorang namun dirinya tidak memperdulikan perkembangan negara atau bahkan orang lain di sekitarnya sendiri. akhirnya muncul istilah cinta itu buta. Karena setelah merasakan cinta tersebut, seakan-akan kita tidak mampu melihat hal lain selain rasa cinta pada seseorang itu sendiri.
Ada salah satu kutipan menarik terkait cinta itu sendiri, yaitu “cinta terbaik itu tidak pernah membuat kita buta, melainkan cinta terbaik justru mampu membuat kita lebih memahami lingkungan disekitar kita dengan lebih utuh, mendewasakan pemikiran kita dan membuat kita lebih peka terhadap orang lain disekitar kita.” Sebagai seorang pria sangatlah wajar bila Bung Hatta memikirkan seorang wanita, namun beliau tidak ingin pikirannya tersebut membuat fokus dan kecintaannya teralihkan dari hal yang saat itu lebih penting, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Dari kisah Bung Hatta diatas, kita bisa belajar bahwa kita tidak bisa memaknai perasaan cinta secara sepotong-potong saja. Kita boleh mencintai seseorang, tapi kita juga tidak bisa dibutakan oleh rasa cinta kita itu tadi. Kecintaan kita harus lah di salurkan dengan tepat dan demi kemajuan banyak pihak dan bukan hanya demi kepentingan pribadi diri kita sendiri. jika semua orang hanya sibuk memikirkan cinta pribadinya, siapa yang akan memikirkan tentang rasa cinta pada negaranya sehingga menimbulkan tekad untuk memajukan negeri ini?
KENAPA PENGAJUAN SAYA DITOLAK? Seorang lelaki berkata dengan nada tinggi. Tatapannya berubah menjadi penuh benci seakan lawan bicaranya baru saja mengucapkan sesuatu yang menyinggung hati. Namun pada kenyataannya, sejak tadi lawan bicaranya ini tak mengeluarkan sepatah kata apapun.
Lawan bicara dari pria yang sedang marah ini adalah Customer Service sebuah bank sehingga tampaknya sudah terbiasa menghadapi seseorang yang marah-marah dan mengajukan komplain. Walaupun sedang menghadapi suara bernada keras, sang Customer Service terlihat tetap tenang.
Belum sempat Customer Service tersebut memberikan tanggapan, pria ini meluapkan emosinya kembali
“ASAL KAMU TAU YA, BEBERAPA BULAN LALU SAYA SUDAH MENGAJUKAN DAN DITERIMA, LANTAS KENAPA SEKARANG DITOLAK?”
“BARU JADI BANK KECIL AJA UDAH SOK”
“KAMU NGGAK TAU YA SIAPA SAYA..”
“SAYA NGGAK BUTUH PENGAJUAN SAYA INI DITERIMA, SAYA BISA MEMBAYAR SENDIRI KEBUTUHAN SAYA”
Sang Konsumen ini terus-terusan mengeluarkan umpatan bernada kekesalan. Mendengar kemarahan dan kekesalan dari kosumen, Customer Service tersebut hanya terdiam sembari mendengarkan dengan seksama. Bagi Customer Service tersebut, sia-sia saja berbicara dengan seseorang yang sedang emosi. Itu sebabnya sejak awal dirinya hanya menerima dan mendengarkan kemarahan sang konsumen dengan sabar.
Ada salah satu penelitian yang menyebutkan bahwa marah atau emosi itu menghalangi fungsi kognitif dari otak sehingga akhirnya membuat pemrosesan informasi jadi lebih rendah dan lambat. Ini sebabnya ketika ada seseorang yang marah, orang tersebut seakan-akan tidak mampu berpikir dengan jernih dan tidak mampu melakukan analisa atas tindakannya sendiri.
Didalam menjalankan setiap kegiatan, pada dasarnya kita senantiasa melakukan analisa terhadap sebuah kondisi dengan menggunakan persepsi pribadi yang terbentuk dari pengalaman kita yang telah lalu. Namun ketika seseorang kemudian merasa emosi, sebenarnya orang tersebut membatasi persepsinya hanya berdasarkan perasaan diri. Itu sebabnya persepsi dirinya seakan-akan menjadi terbatas dan orang tersebut tidak mau memahami situasi dan sudut pandang orang lain.
Maka, akan jadi sangat melelahkan dan hanya akan membuang energi bila diri kita sampai terbawa emosi yang ditimbulkan oleh orang yang sedang marah tersebut. Karena di sisi lain energi yang kita keluarkan bila kita terpengaruh emosi tersebut jadi sia-sia karena tidak mampu menghasilkan keputusan yang dibutuhkan.
Jika memang diri kita akhirnya tak mampu menahan diri dan terbawa emosi, maka bisa jadi diri kita juga sedang membatasi persepsi kita seperti yang sudah dibahas diatas. Hal ini membuat kedua belah pihak akhirnya sama-sama membatasi persepsi mereka dan tidak mau terbuka terhadap pendapat-pendapat yang memang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan
Maka, berpikirlah dua kali sebelum kita melakukan sebuah tindakan terutama ketika sedang emosi, agar bisa kita memikirkan dampak baik dan buruknya tindakan kita secara seksama sehingga mampu membawa diri kita pada hasil yang benar-benar kita harapkan
Terlampau puas terhadap hasil yang telah kita dapatkan saat ini, terkadang memunculkan kelengahan yang akhirnya menghambat perkembangan kita di masa depan. Pernahkah kita menyaksikan pertandingan sepakbola dimana satu tim sebenarnya dalam posisi yang unggul namun di detik-detik akhir tim lawan berhasil mencetak gol dan membalikkan keadaan sehingga akhirnya tim yang unggul sedari awal justru mengalami kekalahan di akhir?
Gambaran inilah yang sering terjadi didalam olahraga sepakbola. Banyak pihak yang menyebutkan bahwa dalam sepakbola, bola itu bulat dan tidak ada yang tau hasilnya sebelum peluit tanda berakhirnya pertandingan dibunyikan. Hal itu pula yang membuat para pemain sepakbola dituntut untuk berusaha habis-habisan sebelum peluit akhir dibunyikan,.
Kisah didalam dunia pesepakbolaan diatas sebenarnya juga mencerminkan tuntutan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai manusia, kita juga memiliki tuntutan untuk berhati-hati dan terus mengembangkan diri akibat persaingan disekitar kita. Hari ini mungkin kita unggul dalam persaingan dengan orang lainnya, namun jika kita tidak berhati-hati dan terlampau cepat berpuas diri, justru akhirnya bisa saja kita dikalahkan oleh orang lain.
Karena terlampau puas dan bangga dengan kemampuan yang kita miliki saat ini dapat membuat diri kita enggan meningkatkan kemampuan diri sehingga akhirnya dapat dengan mudah dikalahkan oleh pesaing disekitar kita
Tahun-tahunku di perusahaan ini berjalan dengan penuh kejadian, tekanan dan tantangan. Yang pasti, selalu ada perubahan kearah yang lebih baik entah itu dari segi fisik, ruang kerja, maupun manusianya.
Tapi ada satu hal yang tetap ada sampai sekarang. Hal yang membuatku setiap hari melangkah masuk ke gedung kantor dengan hati yang ringan dan senang. Tak perduli seberapa malasnya bangun pagi, seberapa mengesalkannya perjalanan penuh macet ke kantor, semuanya menjadi hilang tak berbekas ketika sampai di kantor dan bertemu dengan bapak-bapak satpam dan rekan-rekan resepsionis.
Setiap hari, mereka selalu tersenyum hangat dan mengucapkan, “Selamat pagi!” Sapaan dan senyuman mereka menular dan membuatku ingin menyapa rekan-rekan yang lain ketika sampai di ruang kerja. Sungguh senang kalau bisa memulai hari dengan hati yang riang dan ceria
Kebahagiaan ternyata menyebar didalam lingkungan pekerjaan. Itulah yang terlihat jelas dari kisah salah satu karyawan perusahaan Nutrifood yang diceritakan dalam buku “Rumah Kedua.” Di awali oleh senyuman dan ucapan dari resepsionis dan satpam, ternyata membuat setiap karyawan merasakan aura kebahagiaan dan ingin membaginya pada lingkungan. Coba bayangkan bila setiap orang memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya membagi kebahagiaan yang sederhana seperti kisah diatas, maka pasti lingkungan pekerjaan kita akan menjadi tempat yang sangat nyaman
Hampir sepertiga kehidupan yang kita jalani sehari-hari dihabiskan didalam lingkungan pekerjaan. Sehingga sudah seharusnya kita menjadikan lingkungan pekerjaan kita menjadi lingkungan yang menyenangkan. Tak perlu berharap orang lain untuk memulai, karena dari kisah diatas, kebahagiaan dan senyuman yang diberikan oleh satpam dan resepsionis kantor ternyata menular pada semua orang didalam lingkungan pekerjaannya.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah diri kita saat ini? Sudahkah kita menyebarkan antusiasme kita didalam lingkungan pekerjaan? Atau jangan-jangan, justru kita meluapkan kekesalan kita didalam pekerjaan hingga akhirnya lingkungan kita merasakan ketidaknyamanan??
Bukankah Sesuatu yang baik itu pada dasarnya harus dimulai dari diri kita sendiri? lantas kenapa kita harus menunggu orang lain yang menciptakan hal baik tersebut?
Beberapa saat lalu, saya menonton film Indonesia yang berjudul “Headshot.” Film ini memang baru saja ditayangkan serentak di beberapa bioskop Indonesia. Awalnya, saya hanya sekedar penasaran dengan jalan ceritanya ketika melihat trailer film ini di beberapa media. Selain menyuguhkan adegan laga yang seru, film ini juga didukung oleh aktor dan aktris yang terkemuka. Di Indonesia sendiri genre film laga yang dipadukan dengan kisah romantisme memang belumlah banyak. Sehingga akhirnya saya memang menantikan film ini sejak lama.
Setelah menonton, beberapa pendapat mengenai filmnya muncul dalam benak saya. Beberapa kawan saya yang sudah menonton juga memberikan komentar yang cukup beragam. Ada yang bilang cukup baik, sangat bagus, biasa saja, ada yang ganjil di filmnya dan berbagai pendapat lainnya. Bagi saya, beragam pendapat ini adalah sesuatu yang wajar karena setiap orang memiliki ekspektasi masing-masing terhadap sebuah film.
Namun, terlepas dari berbagai komentar dan pendapat yang ada, saya merasa bahwa keberadaan film ini harus tetap diapresiasi oleh banyak pihak. Karena film ini menggambarkan perkembangan dunia perfilman Indonesia yang semakin maju. Adegan laga yang seru, totalitas aktor dan aktrisnya dalam berakting, ditambah dengan alur cerita yang mulai terbentuk dengan rapi, memang membuat film ini terasa cukup lengkap. Walaupun masih ada beberapa alur cerita yang terasa ganjil, namun tidak mengurangi keseruan yang dihadirkan. Maka sebuah apresiasi tetaplah sangat perlu diberikan khususnya pada banyak pihak yang berkontribusi dalam terciptanya film ini
Apresiasi dari para penonton seringkali cukup ampuh untuk meningkatkan motivasi dari para pencipta film agar lebih kreatif dalam menciptakan sebuah karya. Coba bayangkan bila hanya sedikit orang yang mengapresiasi keberadaan sebuah film, ada kemungkinan para pencipta film akan jadi malas untuk membuat karya lebih baik dan lebih banyak bukan? Untuk apa kita membuat sebuah karya ketika kita tau bahwa tidak ada orang yang akan mengapresiasi apa yang kita buat.
Karena pada dasarnya sebuah karya itu dibuat agar orang lain disekitar kita merasakan manfaatnya. Itu sebabnya kita sering melihat ajang apresiasi terhadap bakat atau karya seseorang diadakan. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk membuat para pencipta karya makin bersemangat dan termotivasi untuk menciptakan karya yang makin baik dari waktu ke waktu sehingga makin banyak juga orang disekitarnya yang merasakan manfaat dari karya yang dibuatnya.
Begitu pula dengan didalam menjalani aktifitas sehari-hari. Penting bagi kita untuk memberikan apresiasi terhadap setiap hasil kerja yang dilakukan oleh orang-orang disekitar kita. Karena sekecil apapun bentuk apresiasi yang kita berikan, dapat memiliki dampak yang luar biasa terhadap peningkatan motivasi orang tersebut untuk melakukan hal yang lebih baik di masa depan.
Jadi tunggu apa lagi? Yuk sebarkan apresiasi positif pada hal-hal kecil disekitar kita agar di masa depan, hal kecil tadi mampu berubah menjadi hal baik yang jauh lebih besar.
Yang mampu mengubah kehidupan seorang manusia, bukanlah manusia lain disekitarnya, melainkan pribadi manusia itu sendiri. Pesan inilah yang saya tangkap dari film terbaru Sahrukh Khan yang berjudul Dear Zindegi yang baru saja saya tonton beberapa jam yang lalu. Dilihat dari tampilan poster filmnya, awalnya saya menebak bahwa film ini pastilah penuh dengan adegan percintaan. Namun ternyata setelah 140 Menit menonton filmnya secara langsung, saya kemudian menyimpulkan bahwa pendapat saya tidaklah sepenuhnya tepat karena ternyata film ini menyuguhkan sesuatu yang berbeda
Alur cerita film Dear Zindagi berkisah tentang kegalauan Kaira, seorang sinematografi muda, cantik, berdarah India. Kaira sudah empat kali pacaran dan menjalin hubungan dengan para kekasihnya, tetapi kaira merasa kesulitan menemukan kenyamanan.
Setiap hubungan yang dbangun bersama kekasihnya selalu berujung pada kegagalan. Hal ini membuat Kaira stress, frustasi dan merasa hidupnya tidak adil karena disisi lain, hubungannya dengan keluarganya pun memburuk. Di tengah kegalauannya itu, Kaira kemudian memutuskan berkonsultasi intensif dengan seorang dokter dan terapis bernama Jehangir Khan.
Alih-alih bersikap sebagai seorang terapis, Khan justru bersikap sebagai seorang sahabat yang dengan setia mendengarkan Kaira dalam setiap sesi konsultasinya. Seminggu sekali, Kaira bertemu dan berkonsultasi dengan Khan untuk menyembuhkan penyakitnya. Namun Khan memiliki cara yang unik dalam menangani orang-orang dalam sesi therapy nya, termasuk sesinya dengan Kaira.
Dalam setiap sesi, Khan sama sekali tidak menggurui Kaira ataupun bersikap layaknya seorang dokter pada umumnya. Khan hanya menjadi pendengar yang baik, memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengubah sudut pandang Kaira dalam menjalani kehidupannya dan sesekali Khan juga berbagi beberapa kisah dan cerita agar Kaira mengambil pelajaran dari kisah tersebut
Singkat cerita, akhirnya dari pertayaan-pertanyaan yang kerap diberikan oleh Khan ini, akhirnya sudut pandang Kaira terhadap kehidupannya berubah 180 derajat. Dari yang awalnya memandang kehidupannya dengan sinis dan penuh emosi akibat kisah pahit di masa lalunya, Kaira kemudian belajar bahwa untuk memulai sesuatu yang baru, dia harus berani memaafkan masa lalu dan memutuskan untuk menjalani hidup dengan bahagia di masa kini.
Untuk membantu mengubah kehidupan orang lain disekitar kita, terkadang kita merasa bahwa itu membutuhkan kata-kata bijak dan solusi yang benar-benar jitu yang bisa kita berikan. Namun hal ini tidaklah sepenuhnya tepat karena dalam kisah diatas, ternyata pertanyaan-pertanyaan yang menggugah pemikiran justru ampuh untuk mengubah orang tersebut. Inilah yang disebut dengan metode Coaching yang seringkali mampu mengubah kehidupan.
Maka, ketika dirimu menemukan orang lain disekitar yang membutuhkan pertolongan untuk menghadapi masalah dalam kehidupannya, tidak perlu bingung mencari solusi dan kalimat bijak yang tepat karena kadang hanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengubah sudut pandang ini, kita akan mampu mengubah kehidupannya.
Seorang atasan mendapatkan kabar bahwa karyawannya yang memiliki prestasi membanggakan akan ditarik untuk bekerja pada perusahaan kompetitor. Sebut saja atasan ini bernama Doni. Doni merasa tersinggung karena ada salah seorang karyawannya yang tidak pernah mengutarakan niatnya untuk berpindah tempat kerja.
Namun Doni justru mendapatkan informasi perihal kepindahan kerja karyawannya ini dari orang lain. Doni pun jengkel karena merasa dirinya tidak dianggap oleh karyawannya sendiri. Padahal Doni merasa dirinya memiliki andil untuk ikut mendidik karyawannya ini hingga memperoleh banyak prestasi. Perasaan jengkel ini tanpa disadari membuat Doni menunjukkan sikap sinis kepada karyawannya dalam menjalankan aktivitasnya sepanjang hari.
Perilaku sinis yang ditunjukkan oleh Doni akhirnya menimbulkan ketidaknyamanan bagi sang karyawan yang akhirnya membuat karyawan tersebut memutuskan untuk berpindah perusahaan. Belakangan diketahui bahwa ternyata sejak awal, karyawan tersebut tidak pernah berniat berpindah ke perusahaan kompetitor. Tapi sang pemimpin sudah terlanjur bersikap sinis.
Persepsi diri pada dasarnya mempengaruhi tingkat emosi kita yang akhirnya juga akan mempengaruhi perilaku kita. Maka, berhati-hatilah dalam mempersepsikan lingkungan kita agar perilaku yang kita tunjukkan benar-benar sesuai. Sama seperti dalam kisah diatas. Walaupun baru sekilas mendengar sebuah kabar, Doni langsung mempersepsikan apa yang didengarnya sebagai sebuah kebenaran. Padahal kebenaran menurut Doni ini masih sangat perlu untuk dibuktikan kembali
Sayangnya, Doni tidak berupaya untuk mencari kebenarannya di tempat lain yang membuatnya merasakan emosi terhadap kondisi tersebut. Emosi ini akhirnya mendorong Doni untuk mengeluarkan perilaku yang sesungguhnya tidak tepat. Alhasil dampak dari perilaku tersebut justru merugikan dirinya sendiri.
Maka, sebagai manusia yang baik, berhati-hatilah dalam mempersepsikan apa yang ada di lingkungan sekitar kita, karena apa yang kita persepsikan sesungguhnya akan menentukan emosi diri dan perilaku yang kita keluarkan